SELAMAT DATANG DAN TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGANNYA.
JANGAN LUPA COMENT DAN SARANNYA AGAR LEBIH BAIK LAGI.
THAK'Z......

Home » , , , » PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG PERLINDUNGAN UPAH

PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG PERLINDUNGAN UPAH

Written By Agus cahyanto on Selasa, 21 Juni 2011 | Selasa, Juni 21, 2011


TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3190
PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN PEMERINTAH
NO. 8 TAHUN 1981
TENTANG PERLINDUNGAN UPAH
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
SURAT EDARAN
NO: SE-01/MEN/1982
TENTANG
PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 8 TAHUN 1981
TENTANG PERLINDUNGAN UPAH
Untuk keseragaman dalam menangani permasalahan yang mungkin timbul sebagai akibat pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981- tentang Perlindungan Upah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 8 Tambahan Lembaran Negara No. 3190) perlu adanya satu kesatuan pengertian yang harus diperhatikan sebagai pedoman bagi para petugas di lapangan  khususnya dalam jajaran Direktorat Jenderal Binalindung Tenaga Kerja. Terhadap beberapa ketentuan yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah tersebut masih diperlukan adanya penjelasan lebih lanjut yang perlu  diperhatikan yaitu antara lain sebagai berikut :
1.     Pasal 1 huruf c berbunyi sebagai berikut :
" Buruh adalah tenaga kerja yang bekerja pada pengusaha dengan menerima upah".

Penjelasan :

Dalam ketentuan ini pengertian "buruh" tidak termasuk tenaga kerja yang berstatus non organik dan/atau yang bekerja secara insidentil pada suatu perusahaan. Yang dimaksud dengan tenaga kerja berstatus non organik adalah tenaga kerja yang bekerja pada perusahaan secara tidak teratur dan secara organisatoris tidak mempunyai fungsi pokok dalam perusahaan tersebut, misalnya : Dokter perusahaan, Konsultan perusahaan.
Yang dimaksud dengan tenaga kerja yang bekerja insidentil adalah tenaga kerja yang bekerja pada perusahaan dengan tidak berkesinambungan baik yang disebabkan karena waktu maupun sifat pekerjaan, misalnya tenaga kerja bongkar muat.
2.     Pasal 2 berbunyi sebagai berikut :
" Hak untuk menerima upah timbul pada saat adanya hubungan kerja dan berakhir pada saat hubungan kerja putus".

Penjelasan :

Yang dimaksud dengan "pada saat adanya hubungan kerja" adalah sejak adanya perjanjian kerja baik tertulis maupun tidak tertulis antara pengusaha dan buruh.
3.     Pasal 3 berbunyi sebagai berikut :
"Pengusaha dalam menetapkan upah tidak boleh mengadakan diskriminasi antara buruh laki-laki dan buruh wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya"

Penjelasan :

Yang dimaksud dengan pekerjaan yang sama nilainya dalam ketentuan ini adalah pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan dengan uraian jabatan (Job discription) yang sama pada suatu perusahaan.
4.     Pasal 4 berbunyi sebagai berikut :
" Upah tidak dibayar bila buruh tidak melakukan pekerjaan "

Penjelasan :

Ketentuan ini merupakan suatu azas yang pada dasarnya berlaku terhadap semua golongan buruh, kecuali bila buruh yang bersangkutan tidak dapat bekerja bukan disebabkan oleh kesalahan buruh.
5.     Pasal 5 ayat (1) huruf a berbunyi sebagai berikut :

" Menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 pengusaha wajib membayar upah buruh".
a. Jika buruh sendiri sakit, sehingga tidak dapat melakukan pekerjaannya dengan ketentuan sebagai berikut :
    1. untuk 3 (tiga) bulan pertama, dibayar 100 % (seratus persen) dari upah.
    2. untuk 3 (tiga) bulan kedua, dibayar 75 % (tujuh puluh lima persen) dari upah.
    3. untuk 3 (tiga) bulan ketiga, dibayar 50 % (lima puluh persen) dari upah.
    4. untuk 3 (tiga) bulan keempat, dibayar 25 % (dua puluh lima persen) dari upah.

Penjelasan :

Ketentuan pembayaran upah dengan bertahap berlaku bagi buruh yang sakit terus menerus.
Termasuk sakit terus menerus adalah penyakit menahun atau berkepanjangan, demikian pula apabila buruh yang setelah sakit lama mampu bekerja kembali tetapi dalam waktu 4 Minggu sakit kembali.
Misalnya : pada 3 (tiga) bulan pertama buruh jatuh sakit dia berhak atas upah 100 %, kemudian masuk bekerja tetapi kurang dari 4 (empat) minggu buruh jatuh sakit lagi dengan penyakit yang sama atau dengan komplikasi yang ditimbulkannya maka dalam hal ini buruh berhak atas upah 75 % selama 3 (tiga) bulan. Akan tetapi jika buruh setelah jatuh sakit, masuk bekerja kembali selama 4 (empat) minggu atau lebih, kemudian jatuh sakit lagi dengan penyakit yang sama atau komplikasinya maka selama sakit buruh berhak atas upah 100 % selama 3 (tiga) bulan. Bulan yang dipakai untuk menghitung lamanya sakit adalah bulan atau waktu dimana buruh jatuh sakit, jadi bukan bulan kalender. Untuk pelaksanaan pasal ini diperlukan surat keterangan dokter yang ditunjuk oleh perusahaan.
Apabila dalam suatu perusahaan terdapat perjanjian perburuhan atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja yang memuat ketentuan upah selama sakit tidak mengikuti pertahapan sesuai pasal ini dapat dibenarkan apabila setiap kurun waktu 3 (tiga) bulan sekurang-kurangnya sama dengan besarnya prosentase pasal 5 tersebut.

Contoh yang dapat dibenarkan :
3 (tiga) bulan pertama               100 %
3 (tiga) bulan kedua                    75 %
6 (enam) bulan berikutnya           50 %

Contoh yang tidak dibenarkan :
3 (tiga) bulan pertama               100 %
3 (tiga) bulan kedua                    60 %
6 (enam) bulan berikutnya           50 %

Bila dalam waktu sakit berkepanjangan tersebut timbul hak atas cuti ber upah(cuti tahunan, cuti hamil) maka hari-hari cuti tersebut upahnya 100 %.
6.     Pasal 6 ayat (4) berbunyi sebagai berikut :
"Pengusaha wajib untuk tetap membayar upah kepada buruh yang tidak dapat menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban ibadah menurut agamanya selama waktu yang diperlukan tetapi tidak melebihi 3 ( tiga ) bulan. "
              Penjelasan :
             Yang dimaksud dengan " Selama waktu yang diperlukan" dalam pasal ini adalah lamanya waktu              untuk melaksanakan ibadah agamanya sesuai dengan ketentuan yang dikeluarkan oleh Departemen              Agama RI dari waktu ke waktu.
             Misalnya : pada tahun 1981 waktu yang diperlukan untuk melaksanakan ibadah haji adalah 40              (empat puluh) hari, dengan demikian pengusaha wajib membayar upah buruh selama 40 hari.
7.     Pasal 8 berbunyi sebagai berikut :
" Pengusaha wajib untuk membayar upah kepada buruh yang bersedia melakukan pekerjaannya yang telah dijanjikan, akan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang dialami oleh pengusaha yang seharusnya dapat ia hindari".

Penjelasan :

Dengan adanya ketentuan pasal ini maka pemberian uang tunggu, yang bukan dalam kaitan dengan pemberhentian sementara (schorsing) yang selama ini dilakukan oleh pengusaha tidak diperkenankan lagi oleh karenanya pengusaha harus membayar upah penuh kepada buruh.
Misalnya : Buruh yang diperintahkan untuk menunggu kedatangan suatu kapal dimana kalau kapal tersebut tiba, buruh akan membongkar muat barang, tetapi karena sesuatu hal kapal tersebut tidak datang, maka pengusaha harus membayar upah buruh sesuai dengan perjanjian.
8.     Pasal 10 ayat (3) berbunyi sebagai berikut :
"Pembayaran upah melalui pihak ketiga hanya diperkenankan bila ada surat kuasa dari buruh yang bersangkutan yang karena sesuatu hal tidak dapat menerimanya secara langsung"

Penjelasan :

Apabila surat kuasa tersebut bersifat kolektif maka surat kuasa tersebut perlu diketahui lebih dahulu oleh Kantor Direktorat Jenderal Binalindung Tenaga Kerja setempat.
9.     Pasal 12 ayat (2) berbunyi sebagai berikut :
" Sebagian dari upah dapat diberikan dalam bentuk lain kecuali minuman keras, obat-obatan atau bahan obat-obatan, dengan ketentuan nilainya tidak boleh melebihi 25 % (dua puluh lima persen) dari nilai upah yang seharusnya diterima.

Penjelasan :

Apabila selama ini suatu perusahaan memberikan upah dalam bentuk natura lebih dari 25 % maka selanjutnya kelebihan prosentase tersebut harus diwujudkan dalam bentuk uang.
Misalnya : Jika sebagian upah diberikan dalam bentuk natura 30 % maka yang kelebihan 5 % tersebut harus diwujudkan dalam bentuk uang.
10.   Pasal 13 ayat (2) berbunyi sebagai berikut :
" Bila upah ditetapkan dalam mata uang asing, maka pembayaran akan dilakukan berdasarkan kurs resmi pada hari dan tempat pembayaran.

Penjelasan :

Yang dipakai untuk menghitung kurs resmi adalah kurs yang ditetapkan oleh Bank Indonesia pada saat pembayaran upah.
11.   Pasal 15 ayat (2) berbunyi sebagai berikut :
" Dengan tidak mengurangi ketentuan ayat (1), apabila ada permintaan dari pengusaha atau buruh, badan yang diserahi tugas urusan perselisihan perburuhan dapat membatasi pengembalian itu sekurang-kurangnya sama dengan jumlah kerugian yang diderita oleh buruh".

Penjelasan :

Yang dimaksud dengan Badan yang diserahi urusan Perselisihan Perburuhan ialah Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan tersebut dalam Undang-undang No.22 Tahun 1957 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1957 No.42 Tambahan Lembaran Negara No. 1227).
12.   Pasal 19 ayat (2) berbunyi sebagai berikut :
" Apabila sesudah sebulan upah masih belum dibayar, maka disamping berkewajiban untuk membayar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengusaha diwajibkan pula membayar bunga sebesar bunga yang ditetapkan oleh Bank untuk kredit perusahaan yang bersangkutan".

Penjelasan :

Untuk menentukan besarnya prosentase bunga karena keterlambatan membayar upah buruh adalah : Apabila di perusahaan tersebut terdapat beberapa jenis kredit, maka yang dipakai untuk menentukan besarnya diambil bunga kredit yang paling menguntungkan buruh.
13.   Pasal 21 ayat (1) berbunyi sebagai berikut :
" Denda yang dikenakan oleh pengusaha kepada buruh, baik langsung maupun tidak langsung tidak boleh dipergunakan untuk kepentingan pengusaha atau orang yang diberi wewenang untuk menjatuhkan denda tersebut".

Penjelasan :

Denda yang dikenakan kepada buruh juga tidak dapat digunakan untuk kepentingan perusahaan atau untuk kepentingan biaya operasional perusahaan.
14.   Pasal 24 ayat (1) berbunyi sebagai berikut :
a. Denda, potongan, dan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, dan     Pasal 23;
b. Sewa rumah yang disewakan oleh pengusaha kepada buruh dengan perjanjian tertulis;
c. Uang muka atas upah, kelebihann upah yang telah dibayarkan dan cicilan hutang buruh kepada     pengusaha, dengan ketentuan harus ada tanda bukti tertulis".

Penjelasan :

Untuk memperhitungkan hutang piutang buruh jika terjadi Pemutusan Hubungan Kerja selain dapat diperhitungkan dari upah juga dari uang pesangon.
15.   Pasal 33 berbunyi sebagai berikut :
" Buruh atau ahli yang ditunjuknya atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri dengan sengaja membocorkan rahasia yang harus disimpannya sesuai ketentuan Pasal 29 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000,-(seratus ribu rupiah)"

Penjelasan :

Kata "Ahli" dalam pasal ini seharusnya dibaca kuasa yang ditunjuk oleh buruh seperti dimaksud pada Pasal 29.
              Demikian beberapa petunjuk tersebut disampaikan kepada Saudara untuk diperhatikan dan dipergunakan sebagaimana mestinya.

                                                                                                           Ditetapkan di Jakarta
                                                                                                           pada tanggal : 4 Februari 1982

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

HARUN ZAIN
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Rencana Tanpa Tindakan Adalah MIMPI

My Post

Adsense Indonesia
 
Support : Agus Cahyanto | |
Copyright © 2013. A G U S C A H Y A N T O - All Rights Reserved
Template Created and Published by AGUS CAHYANTO
Proudly powered by Blogger