SELAMAT DATANG DAN TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGANNYA.
JANGAN LUPA COMENT DAN SARANNYA AGAR LEBIH BAIK LAGI.
THAK'Z......

Home » , » Hidup itu Seperti Naik Sepeda

Hidup itu Seperti Naik Sepeda

Written By Agus cahyanto on Rabu, 13 Juni 2012 | Rabu, Juni 13, 2012




“Hidup itu seperti sepeda,” katanya tenang tanpa beban.
“Iya, seperti sepeda. Kamu pasti belum mengerti,” katanya lagi.

“Maksudnya Pak ?”
“Kamu bisa naik sepeda ?”

“Bisa,” jawabku singkat.

“Bagaimana kamu bisa menjaga keseimbangan mu saat mengendarai sepeda ?”

Maksudnya apa sih ini, menjaga keseimbangan yah begitu, “Susah dijelaskan Pak, tapi yang jelas kalau saya mengendarai sepeda, maka keseimbangan akan terjadi begitu saja. Rasanya susah untuk dijelaskan.”

“Bisa kalau kamu mau berpikir.”

Pemaksaan yang tidak sopan, kalau saya tidak bisa menjawab artinya saya gak mau berpikir. Ini penghinaan. Tunggu, saya akan pikir.

“Saya tahu, keseimbangan itu akan terjadi jika beban kita dialihkan ke sisi dimana kita akan terjatuh.”

“Tepat!” Bapak itu tersenyum termanggut-manggut. Sambil membenarkan kopiahnya Bapak itu melanjutkan pembicaraanya, “Begitu lah hidup, jangan sekali-kali memalingkan diri dari permasalahan yang muncul di depan kita. Jika ada masalah muncul di depan kita, hadapi dan jangan melarikan diri. Ibarat orang naik sepeda, ketika akan jatuh ke sisi kiri maka setang sepeda di arahklan ke kiri.”

Bapak itu menghela napas, lalu melanjutkan, “Sekali saja kita melarikan diri dari permasalahan, maka ibarat sepeda tadi, mau jatuh ke sisi kiri tapi setang diarahkan ke sisi kanan, akibatnya kalau tidak oleng yah jatuh. Itu namanya keseimbangan.”

Ya ya ya, kayaknya saya paham arah pembicaraan Bapak ini.

“Tunggu dulu, ini belum selesai”, katanya sambil membenarkan letak kopiahnya kembali. “Keseimbangan juga terjadi karena pengendara sepeda itu mengayuh sepedanya untuk maju. Kalau sepeda itu diam, keseimbangan juga sukar diperoleh.”

Betul juga, saya kok gak pikir sampai arah sana yah. “Kelihatannya saya sudah tahu maksud Bapak. Hidup itu harus seimbang seperti mengendarai sebuah sepeda, yaitu menjaga keseimbangan dengan cara tidak melarikan diri dari permasalahan. Selain itu, hidup ini juga harus tetap berjalan, tidak boleh diam.”

“Bagus, kamu pinter”, katanya entah memuji entah mencela, senyum Bapak ini tidak mudah ditebak artinya. Kopiahnya kembali digerakkan seolah tidak ada tempat yang pas dikepalanya, lalu dia berkata lagi, “Semakin cepat kamu mengayuh sepeda, maka sepeda akan semakin cepat melaju dan kamu akan semakin mudah menjaga keseimbangan. Hidup ini jangan lambat, bahkan jangan sampai diam di tempat, kalau kamu di posisi seperti ini, maka kamu akan sulit menjaga keseimbangan, akhirnya ibarat sepeda, kamu akan jatuh.”

“Tapi …”

“Ya saya tahu. Langkah pertama adalah menetapkan dulu kemana kamu akan mengendarai sepeda. Ini penting, karena sekali kamu mengayuh sepedamu, dan sepedamu sampai pada kecepatan tinggi, maka kamu akan sulit untuk belok. Kalau dipaksa, maka kamu akan jatuh. Begitulah hidup. Banyak sekali kejadian dimana seseorang telah mengendarai sepedanya secara cepat lalu dipaksa untuk belok, entah ke kiri entah ke kanan, akibatnya? Orang itu jatuh bahkan mati. Ada juga seseorang yang mengendarai sepedanya lambat bahkan sangat lambat, sehingga orang tersebut kecapekan untuk menjaga keseimbangan, akhirnya jatuh juga.”

“Jadi yang benar? mengendarai sepeda cepat atau lambat Pak ?”

“Yang benar adalah kendarailah sepedamu itu sesuai dengan kemampuanmu. Kendarai secara cepat jika kamu sudah yakin ini arah tujuannya. Kendarai perlahan jika kamu masih ragu, tetapi ingat, semakin lama kamu meragu, maka akan semakin capek kamu menjaga keseimbangan.”

Ya ya ya, saya semakin paham.

“Terakhir”, katanya sambil lagi lagi membenarkan posisi kopiahnya. “Pakai semua indera yang kamu miliki agar sepedamu jalan tanpa menabrak atau ditabrak, perhatikan juga jalan yang kamu lewati jangan sampai sepedamu masuk lobang.”

Tangan Bapak ini sekarang memegang bahuku dan berkata, “Paling akhir adalah, selalu berdoa kepada Allah untuk memohon ridha-Nya, baik saat mulai menaiki sepeda, mengayuh bahkan ketika sepeda telah melaju cepat. Insya Allah, hidupmu akan senang, jauh dari susah.”

Ya ya ya, saya paham. Hidup itu seperti mengendarai sebuah sepeda.

“Ada satu lagi Pak. kalau boleh saya akan menambahkan perumpamaan Sepeda dengan sebuah kondisi yang lain,” kataku tiba-tiba.

Bapak itu melepaskan tanganya dari pundakku. Alisnya dikerutkan seperti sedang berpikir dengan mata memandang tajam, “Silakan,” katanya.

“Sedari tadi Bapak hanya mengatakan ibarat seorang naik sepeda, bagaimana kalau tidak seorang ? Misalnya, seseorang naik sepeda sambil memboceng orang lain. Ini akan berbeda dengan kondisi yang Bapak ceritakan di awal.”

“Betul sekali. Jika suatu hari kamu menaiki sepedamu dan ada orang lain hendak membonceng di sepedamu itu, yang harus kamu lakukan adalah kamu harus memiliki keyakinan. Keyakinan yang lebih.”

“Keyakinan yang lebih ? Maksudnya Pak?”

“Iya, pertama, kamu harus yakin bahwa kamu akan kuat mengayuh sepedamu dengan beban yang lebih berat karena ada orang yang memboceng di sepedamu.”

Bapak itu menghela napas dalam, lalu berkata lagi, “Kedua, keyakinan bahwa kamu akan sanggup menjaga keseimbangan yang lebih baik, karena bukan tidak mungkin orang yang kamu boncengin malah merusak keseimbangan sepedamu.”

“Tetapi saya bisa bilang pada orang itu untuk turut menjaga keseimbangan,” kataku memotong pembicaraan.

“Itu betul. Tetapi tidak semua orang kamu kasih tahu akan langsung mau menurut bahkan ketika terbukti bahwa sepedamu jatuh gara-gara dia. Kalau sudah begini maka kamu harus tetap menjaga sepedamu agar tidak jatuh, kayuh terus dan jaga terus keseimbangan.”

“Wah … berat juga.”

“Tidak ada yang berat kalau kamu menjalaninya dengan ikhlas. Pemboceng itu bisa jadi adikmu, bisa jadi kakakmu, bisa jadi istrimu, bisa jadi anakmu, bisa jadi orang tuamu, bahkan … “, katanya tenang sambil melepaskan kopiahnya dari kepalanya yang sudah putih beruban. “Bahkan bukan tidak mungkin dia adalah bukan siapa-siapa kamu!”

“Dan jangan lupa,” lanjutnya lagi. “Suatu hari ketika kamu sudah tidak kuat lagi mengayuh sepedamu, maka kamu akan memboceng sepeda yang dikendarai orang lain. Bisa jadi dikendarai oleh adikmu, bisa jadi kakakmu, bisa jadi istrimu, bisa jadi anakmu, bisa jadi orang tuamu.”

“Bahkan bukan tidak mungkin dia adalah bukan siapa-siapa saya,” kataku mendahului.

“Ya, benar,” katanya sambil melipat kopiahnya dan ditaruhnya diatas meja. Rambutnya yang sudah memutih di sisirnya dengan jari tangan yang mulai mengeriput dimakan waktu.

“Nak, hidup itu bagaikan kita mengendarai sepeda. Kamu masih muda, kendarai sepedamu baik-baik, ajari semua orang untuk bisa mengendarai sepeda itu dengan benar.”

Ya, Bapak ini benar. Hidup ini benar-benar seperti sebuah perjalanan dengan menggunakan sepeda. Kadang dipaksa harus belok meskipun keinginannya lurus. Kadang dipaksa lurus meskipun keinginannya belok. Ya, inilah hidup. Ikutin saja agar seimbang, kayuh terus agar keseimbangan lebih mudah dijaga, insya Allah apa yang kita inginkan diridhai olehNya.

Sumber: http://riyogarta.com
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Rencana Tanpa Tindakan Adalah MIMPI

My Post

Adsense Indonesia
 
Support : Agus Cahyanto | |
Copyright © 2013. A G U S C A H Y A N T O - All Rights Reserved
Template Created and Published by AGUS CAHYANTO
Proudly powered by Blogger