![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj8xnPoB5AfF75yITl1kH4bZpIacyAEauHcHhNH4DoqYrI7D7Cabz6NAqAhjk_bl1Hzy6q3a7kUdfpdA5Wt7yoR3W2u1MofNkT14Z-IF1430UZ9lHhSf70kdU5izsD1ypx-1qk1R9z62Qg/s1600/ra.jpg)
R.A. Kartini
April, buat bangsa Indonesia identik dengan Hari
Kartini. Setiap memasuki bulan ini, kita pasti akan teringat dengan
sosok wanita istimewa, Raden Adjeng Kartini, putri seorang Bupati
Jepara, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat. Tokoh pergerakan wanita yang diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia ini dilahirkan di Jepara, Jawa Tengah, pada 21 April 1879.
Kehidupan kaum perempuan yang tertindas pada masa
itu mendorong R.A. Kartini untuk melakukan perubahan. Pikirannya terbuka
setelah dia banyak berkoresponsi dengan para sahabat wanitanya yang
berasal dari Eropa. Salah satu sahabat yang paling mendukung perjuangan
adalah Rosa Abendanon, seorang wanita Belanda. Melalui para
sahabatnya, R.A. Kartini banyak mendapatkan kiriman buku, majalah dan
koran terbitan Eropa, sehingga membantu membuka wawasan berpikirnya.
Kini situasi sudah berubah. Mimpi R.A. Kartini
dalam memperjuangkan kaumnya agar bisa setara dengan kaum pria sudah
terwujud. Sudah banyak jabatan penting di pemerintahan yang semula
dipegang oleh pria, namun kini dipegang oleh wanita. Beberapa contoh
misalnya : Petronela Peni Loli
yang berhasil menjadi kepala desa wanita pertama di Adonara, Nusa Tenggara Timur; Lienda, Camat Pancoran Mas, berhasil menjadi satu-satunya camat wanita di kota Depok; Dra. Haeny Relawati Rini Widyastuti, M.Si, berhasil terpilih sebagai Bupati Tuban dan merupakan wanita pertama yang menjabat Bupati di Jawa Timur; Hj. Rohani Darus Danil, SH, Walikota Tebing Tinggi yang terpilih selama dua periode dan menjadi walikota pertama di Sumatera Utara; Hj. Ratu Atut Chosiyah, S.E. adalah Gubernur Banten saat ini yang merupakan Gubernur Wanita pertama di Indonesia; dan Megawati Soekarnoputri, Presiden Wanita Pertama Republik Indonesia yang menjabat sejak 23 Juli 2001 – 20 Oktober 2004.
yang berhasil menjadi kepala desa wanita pertama di Adonara, Nusa Tenggara Timur; Lienda, Camat Pancoran Mas, berhasil menjadi satu-satunya camat wanita di kota Depok; Dra. Haeny Relawati Rini Widyastuti, M.Si, berhasil terpilih sebagai Bupati Tuban dan merupakan wanita pertama yang menjabat Bupati di Jawa Timur; Hj. Rohani Darus Danil, SH, Walikota Tebing Tinggi yang terpilih selama dua periode dan menjadi walikota pertama di Sumatera Utara; Hj. Ratu Atut Chosiyah, S.E. adalah Gubernur Banten saat ini yang merupakan Gubernur Wanita pertama di Indonesia; dan Megawati Soekarnoputri, Presiden Wanita Pertama Republik Indonesia yang menjabat sejak 23 Juli 2001 – 20 Oktober 2004.
Dikalangan militer ada Brigjen (K) Herawati yang
berhasil menjadi perwira tinggi pertama di TNI AD. Kemudian Laksamana
Pertama TNI AL Christina M Rantetana SKM, MPH, yang berhasil menjadi
perwira tinggi wanita pertama di tubuh TNI AL. Lalu ada juga Marsekal
Pertama TNI Rukmini, SIP, MM, perwira tinggi wanita pertama ditubuh TNI
AU. Terakhir dari korp kepolisian, ada Brigjen Rumiah, yang berhasil
menjadi Kapolda Perempuan Pertama Indonesia. Masih banyak wanita
Indonesia lainnya yang berhasil menduduki berbagai posisi penting di
berbagai bidang, baik sebagai pengusaha, profesional, tokoh politik dan
lain sebagainya.
Di samping kemajuan yang sudah dicapai kaum wanita
di Indonesia, sayangnya masih banyak wanita Indonesia yang menafsirkan
emansipasi wanita yang dulu diperjuangkan oleh R.A. Kartini secara
keliru. Kebebasan dan persamaan hak sering disalahartikan bahkan
terkesan kebablasan. Sebagian wanita yang sudah berumah tangga justru
mengabaikan kodratnya sendiri, karena terjebak dengan pekerjaan dan
karir sehingga melupakan perannya sebagai ibu bagi anak-anaknya dan
sebagai istri dari suaminya. Apalagi jika wanita itu mempunyai
pekerjaan, jabatan atau karir dan penghasilan yang lebih baik dari
suaminya. Mereka merasa memiliki hak yang sama dengan suaminya sehingga
tidak bisa atau kurang menghargai peran suaminya sebagai kepala rumah
tangga.
Tidak jarang kita melihat beberapa wanita yang
sukses dalam karirnya, sementara karir suaminya biasa-biasa saja,
akhirnya rumah tangganya berantakan. Salah satu penyebabnya adalah
karena perasaan egois dari kaum wanita yang sudah melupakan kodratnya,
sehingga ketika kesuksesan berada dalam genggamannya, dia menjadi lupa
diri. Kesuksesan telah membutakan mata batinnya, sehingga tidak bisa
lagi menuruti perkataan suaminya sebagai kepala rumah tangga. Tentu saja
akibatnya fatal, karena dalam rumah tangga terjadi dua kepala dan tidak
ada yang mau mengalah. Ujung-ujungnya rumah tangga pecah berantakan.
Kalau kita menyimak sejarah R.A. Kartini, tentu
maksud persamaan hak yang dituntunya bukan tanpa batas. Artinya, harus
ada ruang bagi wanita untuk melakukan perannya sebagai istri dari
suaminya dan ibu dari anak-anaknya, tidak semata-mata mementingkan
pekerjaan dan karirnya sendiri. Dalam agama, sesungguhnya sudah diatur
masing-masing peran suami dan istri dalam rumah tangga. Suami sebagai
kepala rumah tangga berperan sebagai pencari nafkah utama, sementara
istri berperan sebagai ibu rumah tangga yang berkewajiban mendidik
anak-anaknya. Kalaupun wanita ingin berkarir diluar rumah untuk membantu
suaminya mencari nafkah, tetap tidak boleh melupakan perannya sebagai
istri maupun sebagai seorang ibu bagia anak-anaknya.
Disadari atau tidak, adanya kebebasan kaum wanita
yang beraktivitas diluar rumah, terutama bagi wanita yang sudah berumah
tangga, jika tidak disikapi secara bijaksana bisa melupakan perannya
dalam mendidik anak. Sikap materialistis dan menganggap semua persoalan
bisa diselesaikan dengan uang, menyebabkan pengasuhan anak diserahkan
kepada pembantu rumah tangga atau pengasuh anak (babysitter).
Akibatnya, anak secara psikologis lebih dekat dengan mereka. Jika
pembantu rumah tangga atau babysitter berpendidikan rendah, sementara
mereka bertugas memelihara/merawat anak, maka bisa dibayangkan bagaimana
jadinya anak tersebut kelak. Sehingga jangan heran jika banyak anak
yang dibesarkan oleh keluarga yang secara ekonomi berkecukupan tetapi
kedua orangtuanya sibuk bekerja diluar rumah, akibatnya anak tersebut
mencari pelarian dengan mengkonsumsi narkoba dan pergaulan bebas.
Sebenarnya ada jalan keluar bagi wanita karir yang
memiliki balita agar bisa selalu dekat dengannya tanpa harus
meninggalkan pekerjaan. Setiap kantor, baik milik pemerintah maupun
swasta diwajibkan menyediakan tempat penitipan anak balita. Tempat ini
terdapat pengasuh anak yang berpendidikan dan berpengalaman serta ada
fasilitas bermain yang menyenangkan. Bagi pekerja yang memiliki balita
diberi kesempatan pada waktu tertentu untuk bertemu dengan anaknya,
mungkin hanya sekedar menyusui atau bercengkrama dengannya. Dengan
demikian seorang wanita pekerja masih bisa mendidik anak-anaknya dan
secara psikologis kasih sayangnya akan melekat pada anaknya yang
menyebabkan pertumbuhan emosi anaknya berkembang dengan baik.
Mungkinkah mimpi tersebut bisa terwujud ? Jika
pemerintah mengeluarkan peraturan yang mewajibkan semua perusahaan yang
memperkerjakan wanita sebagai karyawannya untuk menyediakan fasilitas
penitipan anak, bukan tidak mungkin mimpi tersebut bisa terwujud.
Bukankah untuk memulai sesuatu yang positif diperlukan perubahan. Tentu
saja perubahan itu memerlukan keberanian untuk mewujudkannya. Tidak ada
sesuatu yang tidak bisa dilaksanakan jika kita semua mau melakukan
perubahan.
sumber : http://sejarah.kompasiana.com/
0 komentar:
Posting Komentar